Senin, 24 November 2008

UMR kota Batam

Pengusaha Batam terkepung kenaikan upah, listrik, dan air

Kasihan bener para pengusaha di Batam. Pada awal tahun depan, setidaknya tiga jenis tarif akan mengalami kenaikan, mulai dari kenaikan tarif listrik [berlaku mulai November], tarif air, dan upah minimum kota (UMK).

Masing-masing tarif memiliki alasan tersendiri sehingga memutuskan untuk naik. PLN Batam mengusulkan kenaikan tarif kepada Menteri ESDM karena tidak kuat menanggung biaya akibat kenaikan harga gas dan minyak.
Setelah DPRD Batam memberikan rekomendasi tanpa persentase pada akhir Agustus lalu, akhirnya Menteri ESDM menyetujui kenaikan tarif listrik Batam sebesar 14% atau lebih tinggi dibandingkan hasil hitungan PLN Batam sendiri sebesar 11,8%.

Keputusan sudah dikeluarkan, walaupun pengusaha ribut dan berencana melakukan class action atas kebijakan ini, namun tampaknya PLN Batam tidak bergeming. "Silahkan keberatan, kami hanya menjalankan keputusan dari pusat," demikian kira-kira tanggapan manajemen PLN Batam.

Pengusaha yang merasa terganggu cashflownya akibat kenaikan tarif listrik ini pun tidak terima bila PLN Batam --yang notabene perusahaan swasta--tidak memahami kesulitan yang dihadapi pengusaha.
Pengusaha yang tergabung dalam Kadin Provinsi Kepri, Kota Batam, PHRI, Asita, INCCA, REI Batam, dan HKI Batam, membentuk tim advokasi yang akan menggugat Peraturan Menteri ESDM yang mengatur tentang kenaikan tarif ini.
Selain itu, pengusaha sepakat untuk hanya membayarkan 60% dari total tagihan bulan depan karena alasan ketidaksanggupan perusahaan.

Di lain pihak, akibat kenaikan listrik ini jualah, PT Adhya Tirta Batam, pengelola air bersih Batam, tengah ancang-ancang untuk menaikkan tarif air pada tahun 2009 karena dipastikan biaya operasional membengkak.
Perusahaan itu masih membutuhkan pasokan listrik PLN Batam untuk menggerakkan turbin pengolah air bersih di enam waduk yang ada sehingga kenaikan 14% ini sangat mempengaruhi beban operasi mereka.

Berapa persen kenaikan tarif air tahun depan, PT ATB belum bisa memastikan, yang jelas, kenaikan tarif tidak bisa ditunda atau kalau tidak, perusahaan air itu akan kesulitan.

Persoalan tidak berhenti sampai disitu, pengusaha tampaknya harus siap-siap mengencangkan ikat pinggang lebih kencang lagi, kalo bisa sampai tercekik, karena dalam rapat pembahasan upah di Kantor Pemkot Batam beberapa hari lalu, muncul usulan untuk menaikkan upah minimum kota (UMK) Batam tahun 2009 menjadi Rp1,5 juta per bulan atau naik sekitar Rp600.000 dibandingkan upah tahun lalu sebesar Rp960.000.

Angka Rp1,5 juta itu sama dengan angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang berarti dengan angka sebesar itu, maka kebutuhan hidup pekerja bisa terpenuhi walau dalam batas minimal.

Adapun jumlah UMK Batam delapan tahun terakhir sebesar Rp350 ribu (2000),Rp425 ribu (2001), Rp535 ribu (2002), Rp555 ribu (2003), Rp602.175 (2004), Rp635 ribu (2005, Rp815 ribu (2006), Rp860 ribu (2007) dan Rp960 ribu (2008).

Kita bisa bayangkan dampak yang akan dirasakan oleh perusahaan di tengah gempuran kenaikan tiga tarif ini. Namun, terlepas dari itu, masalah besar yang siap muncul adalah inflasi yang kian terkerek tinggi.
Bayangkan, dalam kondisi tarif normal saja, harga kebutuhan pokok bisa naik seenaknya, apalagi bila upah, listrik, dan air juga sudah naik bersamaan. Bisa dibayangkan, seperti apa gejolak harga - harga barang di pasaran.

Mari kita tunggu saja, seperti kejutan-kejutan pada 2009 mendatang..!!

dikutip dari :

Selasa, 18 November 2008

TUGAS 6 :SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

Sistem Pengupahan di Indonesia

Latar Belakang
----------------------
Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka Kehidupan hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga mendasarkan penentuannya melalu mekanisme konsultasi tripartit dalam menetapkan upah minimum antara wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintahan selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator bila diperlukan pada akhirnya akan juga berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya secara hukum.

Sementara itu sebagian kalangan berargumen bahwa penentuan upah melalui mekanisme tripartit dan berbasiskan pada biaya hidup sangatlan jauh dari upaya pencapaian kondisi perekonomian yang pro terhadap keberlanjutan economic growth, perluasan lapangan kerja dan produktifitas bangsa. Sistem yang ada dinilai lebih cenderung mengarah pada arogamsi pola pemerintahan yang tetap memiliki paradigma lama bahwa peran pemerintah adalah superior dalam perekonomian sektor riil. Selain itu, sistem yang ada juga dinilai lebih banyak mengakibatkan menurunnya daya saing industri, daerah dan sekaligus juga daya saing negara terutama sebagai daya tarik terhadap investor baik PMA maupun PMDN.

Karenanya sering digaungkan wacana dan pendapat agar sistem pengupahan harus didasarkan secara proposional juga pada tingkat produktifitas tenaga kerja. Apindo dalam hal ini merupakan pihak yang paling dominan menginginkan adanya sistem pengupahan berbasiskan produktifitas agar pertumbuhan sebuah perusahaan, industri, bahkan wilayah sejalan dengan tingkat kesejahteraan pegawainya, tenaga kerjanya dan masyarakatnya secara respektif. Namun ini tidak berarti bahwa pihak pekerja tidak mendukungnya pula. Pihak dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dalam sebuah surat kabar nasional pernah mengatakan bahwa yang diinginkan oleh pekerja adalah suatu sistem pengupahan yang selain menciptakan kualitas hidup layak juga mendorong produktifitas. Upah yang diterima pekerja sebaiknya didasarkan kepada kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja saja (PKB) saja, dengan catatan bila perusahaan untung maka pekerja layak mendapatkan kenaikan upaha namun bila perusahaan rugi maka dimungkinkan pekerja tidak dinaikkan upahnya.

Dalam hal ini rupanya terdapat kesepakatan diatas permukaan opini antara pihak pengusaha dan pekerja bahwa sistem pengupahan yang baik adalah sistem pengupahan yang mengedepankan pertimbangan produktifitas tenaga kerja, bukan hanya mendasarkan penentuan upah minimum pada kemampuan daya beli dan inflasi saja. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana mengukur secara seakurat mungkin tingkat produktifitas umum sebuah wilayah? bahkan bila perlu tingkat produktitas parsial secara detail baik di tingkat industri maupun tingkat perusahaan secara individual.

Definisi Upah:
--------------------
· Upah bagi pekerja merupakan hak yang harus diperoleh karena nilai sumbangsihnya dalam proses produksi menciptakan nilai tambah.

· Upah harus mencerminkan nilai jabatan yang dipangku seseorang di suatu organisasi perusahaan dan organisasi-organisasi pada umumnya dalam suatu industri. Nilai jabatan yang lebih tinggi akan memberikan besaran upah yang lebih tinggi.

· Besarnya upah yang diterima seseorang atau perbedaan nilai jabatan harus mencerminkan rasa keadilan dalam organisasi itu (equity) dan nilai jabatan yang ada di pasar (kompetitif).

· Tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan kecuali bagi perusahaan yang mampu dapat melakukan penyesuaian atau pemberian insentif untuk mempertahankan karyawan yang baik.

· Mekanisme penyesuaian diatur dalam ketentuan perusahaan dengan mempertimbangkan prestasi kerja yang telah dicapai secara individu


Definisi Produktifitas (APINDO, 2005)
-------------------------------------------------------
· Produktivitas tenaga kerja merupakan bagian kewajiban tingkat hasil kerja yang harus diberikan pekerja kepada pemberi kerja.

· Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan tanggung jawab dari berbagai pihak; perusahaan menyediakan alat, fasilitas pelatihan, dan prasarana kerja lainnya, sementara karyawan berkewajiban untuk menampilkan ethos kerja, sikap peduli dan

· disiplin yang baik, berinisiatif untuk melakukan perbaikan hasil kerja secara terus menerus.

· Peningkatan produktivitas merupakan sumber dasar perbaikan upah riil dan standar hidup. Peningkatan produktivitas juga merupakan tekanan anti inflasi dalam mengimbangi atau menyerap peningkatan upah riil.

· Tingkat produktivitas tenaga kerja berbanding lurus dengan tingkat upah pada umumnya.

Definisi Produktivitas (ILO):
----------------------------------------
Pengukuran seberapa baik sumber daya yang digunakan bersama didalam organisasi untuk menyelesaikan suatu kumpulan hasilhasil. Meurut ILO produktifitas adalah Perbandingan antara elemen-elemen produksi dengan yang dihasilkan merupakan ukuran produktivitas. Elemen - elemen produksi tersebut berupa : tanah, kapital, buruh, dan organisasi.

Definisi Produktivitas (DPN):
----------------------------------------
Sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Pada dasarnya produktivitas harus dapat memenuhi unsur efektifitas, efisien dan kualitas.

Tingkat Produktifitas Secara Umum
---------------------------------------------------
Secara makro ekonomi PDB/PDRB dapat dihitung dengan beberapa methode dan indikator: (1) Produksi (2) Pengeluaran, dan (3) Penerimaan. Dalam kaitannya dengan produktifitas maka dengan PDB/PDRB pula dapat kita hitung berapa Total Factor Productifity (TFP) dari sebuah negara. TFP menggambarkan sejauh mana faktor produksi sebuah wilayah/negara yaitu modal (Kapital) dan Tenaga Kerja (Labor) dapat bersinergi sehingga perekonomian di wilayah/negara tersebut dapat menghasilkan output yang lebih besar. Angka TFP yang tinggi di suatu daerah menunjukkan bahwa output yang dihasilkan dapat diperoleh melalui input yang sedikit saja (produktifitas tinggi).


Tabel 1. Perbandingan TFP Secara Umum Beberapa Negara
-----------------------------------------------------------------------------------------
Dengan meminjam model makro ekonomi: Yt = ZtF(Kt,Lt), Total Factor Productivity (TFP) didefiniskan sebagai berikut Yt/F(Kt,Lt) . TFP juga sering digunakan sebagai proksi dari tingkat teknologi yang berlaku disebuah daerah. Dengan penggunaan sedikit mungkin faktor produksi K dan L dan dihasilkan suatu tingkat output tertentu ini mengartikan bahwa terdapat faktor lain yang ikut berperan dalam pembentukan output tersebut yaitu teknologi. Namun TFP ini tidaklah harus selalu beranggapan bahwa faktor selain Kapital dan Labor yang dominan dalam upaya meningkatkan output adalah teknologi[2], faktor lainnya seperti kebijakan moneter, fiskal, politik mungkin saja ikut berperan dalam pembentukan output tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan TFP dalam menghitung tingkat produktifitas secara umum memiliki kelemahan yaitu tidak otomatis dapat langsung menghitung peran labor dalam peningkatan output, terlebih lagi bila kita sadari bahwa penghitungan output disini seringkali bersifat absolut, bukannya marginal yaitu seberapa penambahan faktor produksi (K dan L) dapat meningkatkan output sebesar angka tertentu.

"Growth in total-factor productivty (TFP) represents output growth not accounted for by the growth in inputs." -- Hornstein and Krusell (1996).

Dengan memperhitungkan nilai margina, pengukuran Produktivitas dapat juga dihitung sebagai hasil dari Input (I) dibagi Output (O). Semakin besar output dan semakin kecil input maka produktivitasnya semakin besar. Produktivitas juga dapat digambarkan sebagai berikut :

* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) tetap
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) naik
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) tetap, Output (O) naik
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) naik, Output (O) naik tetapi jumlah kenaikan Output lebih besar daripada kenaikan Input.
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) turun tetapi jumlah
* penurunan Input lebih kecil daripada turunnya Output.


Tingkat Produktifitas Secara Mikro
---------------------------------------------------
Untuk pengukuran produktivitas di tingkat perusahaan biasanya digunakan pula penghitungan Produktivitas Total Faktor (TFP) perusahaan yang dihasilkan dari penghitungan Nilai Tambah, labor share dan capital share. TFP ini adalah hasil dari Produktivitas dari semua variabel yang mendukung berjalannya suatu usaha. Didapat 4 komponen pendukung peningkatan TFP yaitu : Quality of labour, Capital structure, Demand Intensity dan Technical Progres. Dari kajian tersebut tercermin bahwa Produktivitas total faktor dihasilkan dari labour dan juga capital.

Bahkan metode penghitungan produktifitas tenaga kerja seringkali dihitung hanya berdasarkan kacamata labor share yang seringkali melupakan peran kapital, teknologi dan faktor lainnya. Berikut adalah penghitungan produktifitas secara mikro yang juga mengandung banyak kelemahan

A. Labor Share adalah :
(upah buruh x jumlah buruh x jam kerja) / Total biaya
W x L x H / TC
Total biaya = biaya buruh + biaya non-buruh. Untuk penyederhanaan, H dianggap sama untuk semua buruh, sehingga diskusi selanjutnya akan mengarah ke L.

B. Produktivitas:
Harga produk x Jumlah Produk / Jumlah buruh
(P x Q)/L

Kelemahan yang mungkin terbaca dengan asumsi bahwa labor share haruslah meningkat bila output meningkat adalah:

1. Membandingkan produktivitas dengan labor share adalah bukan perbandingan yang baik. Dari dua formula di atas, kalau: teknologi, harga produk, jumlah produk, upah buruh, jam kerja dan total biaya diasumsikan tetap (constant), dari B peningkatan produktivitas berarti penurunan jumlah buruh, dan dari A dengan adanya penurunan jumlah buruh, labor share otomatis turun. Jadi kalau plot labor share turun, umumnya plot produktivitas akan naik.

2. Penurunan biaya buruh dan meningkatnya produktivitas dalam banyak kasus di industri di Indonesia khususnya banyak melupakan peran teknologi yang berubah cepat. Industri yang dulunya labor intensif, sekarang menjadi makin kapital intensif. Dari sisi produktifitas dalam rangka persaingan internasional, peningkatan ekspor dan perolehan devisa, inilah yang justru diharapkan.

3. Metode penghitungan ini mengabaikan satu hal lain yang lebih penting. Kecilnya labor share menyebabkan kurva permintaan buruh menjadi lebih inelastis. Artinya jumlah permintaan tenaga kerja tidak terlalu responsif terhadap perubahan upah. Dengan kata lain, kalau terjadi 'shock' yang membuat upah buruh meningkat, jumlah kesempatan kerja tidak banyak berkurang. Dengan kecilnya labor share, permintaan tenaga kerja menjadi tidak elastis, akibatnya pengangguran akan lebih mudah dihindari. Ini menguntungkan pihak tenaga kerja. Inilah prinsip terkenal "the importance of being unimportant." Serikat buruh di Amerika selalu mengusahakan agar jumlah buruh sedikit, labor share kecil (tidak berarti upah juga kecil), permintaan tenaga kerja inelastis, dan kalau ada 'apa-apa' pekerja yang di 'layoff' oleh perusahaan tidak akan terlalu massive.

4. Semestinya produktivitas -tidak- dihubungkan dengan 'labor cost' tetapi langsung dengan 'upah buruh'. Karena, kalau pengusaha meminimumkan biaya produksi, maka dia akan membayar upah buruh setara dengan nilai produk marginalnya. Nilai produk marginal ini bisa mencerminkan produktivitas tenaga kerja. Secara matematis bisa ditunjukkan bahwa kondisi optimal (dalam suasana kompetitif) agar biaya minimum adalah:

Upah = harga barang output x produk marginal tenaga kerja.
W = P. MPL

Artinya bila produktivitas tenaga kerja naik, P constant, upah buruh W juga mestinya meningkat.

Korelasi antara Upah tenaga kerja dan Produktifitas Tenaga Kerja

Selalu muncul pertanyaan di benak para stakeholders yang berkepentingan dalam masalah pengupahan, bila produktivitas tenaga kerja naik, mengapa upah buruh tidak juga naik ? Bukti-bukti empiris menunjukkan hasil yang ambigius, dengan kata lain terlihat bahwa secara makro kenaikan upah tenaga kerja tidak berpengaruh secara kualitatif terhadap kinerja produktifitas secara umum. Gambar dan tabel berikut dapat dijadikan sebagai ilustrasi yang menarik untuk disimak.

Gambar 1. Perbandingan TFP Sektor Industri Pengolahan Beberapa Negara Asia (1980-2001)

Sumber: World Economic Forums, 2003

Dengan mempertimbangkan bahwa terdapat kecenderungan yang tidak terlalu drastis dikaitkan dengan kinerja perekonomian Indonesia yang relatif lebih lambat untuk pulih kembali setelah krisis moneter maka trend dari TFP sektor manufaktur Indonesia juga tidak akan terlalu meningkat tajam. Sementara upah yang didasarkan pada ketentuan upah minimum provinsi beberapa propinsi menunjukkan trend yang sebaliknya, yaitu peningkatan upah yang laju rata-rata-nya jauh diatas tingkat inflasi bahkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sekalipun.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Peningkatan UMP (1994-2004)

Sumber: Dewan Produktifitas Nasional, 2005

Sementara itu satu penelitian terakhir berbentuk tesis dari Sumarlin, Universitas Sumatera Utara, 2006 menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan yang positif antara pertumbuhan upah dengan tingkat produktifitas sektor non migas di Indonesia selama periode tahun 1980 s.d. 2004. Dihasilkan kesimpulan bahwa memang upah yang tinggi mempengaruhi tingkat produktifitas dengan arah yang positif. Kenaikan satu persen pada upah akan meningkatkan produktifitas sebesar Rp. 8.8 juta per tenaga kerja.

Namun hasil ambigiu ini memang disadari lebih banyak diakibatkan oleh metode yang digunakan dalam menghitung tingkat produktifitas itu sendiri. Ditenggarai bahwa penghitungan tingkat produktifitas yang dilakukan dalam banyak studi yang megkaji hubungan tingkat upah dan tingkat produktifitas ini tidak memisahkan antara tingkat produktifitas total input (kapital dan labor) dengan tingkat produktifitas tenaga kerja secara “stand alone”.

Dengan asumsi pasar tenaga kerja yang relatif kompetitif, upah buruh seharusnya tidak hanya ditentukan oleh pengusaha (baca: teknologi yang dipakai pengusaha), tetapi ditentukan pula secara lebih dominan oleh mekanisme pasar tenaga kerja yang berlaku. Pengusaha untuk kegiatannya jelas membutuhkan tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja ini diwakili oleh kurva permintaan, yang menunjukkan hubungan:

W= harga produk (P) x Marginal Produk Labor (MPL)

Hubungan W dan L melalui MPL adalah negatif. Kalau tenaga kerja sedikit, produktivitas per unit tenaga kerja makin besar, upah juga tinggi.

Kelompok tenaga kerja menawarkan tenaga kerja diwakili oleh kurva penawaran. Hubungan antara W dan L adalah positif: semakin tinggi upah, semakin banyak tenaga kerja yang disediakan. Misalkan saja pada kondisi awal, supply tenaga kerja adalah S1. mekanisme pasar tenaga kerja akan menghasilkan upah W1 dan tenaga kerja L1. Bila terjadi peningakatan supply tenaga sedangkan kurva permintaan relatif tidak berubah (banyaknya tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, atau makin banyaknya anak lulusan SD/SMP/SMA yang mencari kerja, atau berbagai sebab lain). Kurva penawaran akan bergeser, hal ini menekan akan upah buruh menjadi W2 <> L1), tetapi upah juga lebih kecil.

Kalau pemerintah memasang upah minimum di atas W2, dalam jangka pendek pengangguran akan membesar. Permintaan tenaga kerja lebih kecil dari penawaran. Konsekwensinya, pemerintah harus bertanggung jawab untuk menyalurkan pengangguran yang akan terjadi.

Upah buruh yang rendah memang memprihatinkan. Tetapi diskusi tentang upah buruh yang rendah tidak bisa terlepas dari diskusi tentang banyaknya pengangguran di Indonesia. Melimpahnya penawaran tenaga kerja dengan keterampilan minim merupakan salah satu penyebab utama upah yang rendah. Selain itu, tingkat inflasi yang cukup tinggi sebelum kebijakan Inflation targeting juga merupakan faktor penyebab daya beli yang semakin rendah karena upah yang tinggi bila dihitung secara riil sebenarnya adalah rendah. Oleh sebab itu bila pemerintah (via Depnaker, Disnaker atau lembaga lainnya) ingin lebih memperhatikan upah buruh, pemerintah harus juga menyelesaikan secara simultan dalam mengatasi masalah pengangguran, penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan keterampilan, dst. Pertanyaannya bukan saja 'mengapa pengusaha membayar upah terlalu kecil', tetapi juga 'mengapa dengan upah yang kecil itu banyak orang masih mau bekerja.'

“Himbauan' agar pengusaha meningkatkan upah buruh memang enak didengar. Bila pemerintah 'menghimbau' pada para pengusaha untuk meningkatkan upah, dalam terminologi ekonomi 'himbauan' ini perlu diterjemahkan sebagai: - “Pemerintah lewat kordinasi dan sinergitas antar lembaga perlu menyediakan berbagai insentif, baik melalui pajak atau yang lain agar pengusaha bisa meningkatkan permintaan tenaga kerja lewat penambahan modal kerja ataupun investasi baru. Contoh: insentif untuk membuka industri yang padat karya dibanding padat modal, dll. Yang dibutuhkan adalah suatu 'economic policy' yang diawali dengan niatan dalam arti perencanaan dan implementasi lapangan melalui mekanisme kebijakan antar kelembagaan. Bukannya himbauan dan kebijakan UMP/UMR.

Kesimpulan
-----------------
Didalam peningkatan produktivitas sendiri terdapat faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada peningkatannya baik itu di tingkat makro, mikro maupun bagi tiap individu. Di tingkat makro, stabilitas politik dan keamanan, kondisi Sumber daya (SDM, alam dan Energi), pelaksanaan pemerintah, kondisi infrastruktur berupa transportasi dan komunikasi dan yang tidak kalah penting adalah perubahan struktural dalam bidang sosial dan budaya. Di tingkat mikro, faktor internal meliputi sumber daya manusia, teknologi, manajemen, demand intensity dan struktur modal. Selain faktor faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi meliputi produktivitas di tingkat mikro diantaranya kebijaksaan pemerintah, kondisi politik, sosial, ekonomi dan hankam serta tersedianya sumber daya alam. Di tingkat individu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah sikap mental (budaya produktif), pendidikan, ketrampilan, kompetensi dan apresiasi terhadap kinerja.

Apa keuntungan dari peningkatan produktivitas? Keuntungan peningkatan produktivitas di tingkat nasional (Makro) dengan peningkatan produktivitas maka kemampuan bersaing meningkat khususnya dalam perdagangan internasional yang menambah pendapatan negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan standar hidup dan martabat bangsa, memperkokoh eksistensi dan potensi bangsa yang berarti memantapkan ketahanan nasional, sebagai alat untuk membantu merumuskan kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan tumbuhnya dunia usaha yang membawa pengaruh bertambahnya lapangan kerja.

Di tingkat perusahaan (mikro) maka dengan peningkatan produktivitas akan memperkuat daya saing perusahaan karena dapat memproduksi dengan biaya yang lebih rendah dan mutu produksi lebih baik, menunjang kelestarian dan perkembangan perusahaan, menunjang terwujudnya hubungan industrial yang lebih baik dan mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja. Di tingkat individu akan meningkatkan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat serta pengakuan potensi individu serta meningkatkan motivasi kerja dan keinginan berprestasi.

Saran-Saran
------------------
Untuk menghitung real labour productivity – break down dari TFP kita bisa Mulai dengan menentukan determinan dari TFP yaitu: Quality of Labour, Capital structure, Demand Intensity dan technical progress. Dari Determinan tersebut dapat kita ketahui berapa real labour productivity yaitu dari quality of labour (Kompetensi tenaga kerja) dan technical progress yang dihasilkan dari tenaga kerja (labour share dikalikan dengan technical progress). Penghitungan tersebut lebih tepat digunakan pada manufactur sector. Sedangkan untuk service sector, labour productivity dapat dihitung dengan menggunakan labour share.

Dari labour cost ini baru kemudian diturunkan kembali berapa besar untuk fix wage, variable wage, training dan lain-lain sesuai dengan struktur dan skala upahnya dan keadaan pada perusahaan tersebut. Setiap orang tenaga kerja bisa jadi tidak sama dalam menerima perubahan upah karena juga dilihat dari kinerja masing-masing dari setiap orang (absensi, kedisiplinan, kepatuhan, kompetensi dan lain-lain). Dan setiap perusahaan akan berbeda beda pula struktur dan skema upahnya karena disesuaikan dengan struktur organisasi, budaya perusahaan, keadaan perusahaan yang masingmasing mempunyai karakteristik tersendiri.

Dengan konsep tersebut maka wage adjustment benar-benar didasarkan pada produktivitas. Bila memang Pendapatan perusahaan besar dan real labour productivity besar maka wage adjustment dapat dihasilkan secara signifikan. Diharapkan dengan konsep ini wage adjustment dapat adil bagi pekerja dan pemberi kerja, sutainability perusahaan terjaga, mendorong pekerja untuk lebih produktif dan pemberi kerja dapat mengembangkan usahanya yang berarti terserapnya tenaga kerja dan memperbesar pendapatan daerah.

Untuk upah minimum ada baiknya kenaikannya tidak hanya didasarkan pada kenaikan inflasi terkait komponen hidup minimum, namun juga berdasarkan data produktivitas tenag kerja nasional. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan upah minimum juga berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja.

Sekian dan Terima Kasih......

Dikutip dari Penulis :
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE Unpad, Sekretaris dan Peneliti Lembaga Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) FE Unpad. Dipresentasikan pada Diskusi Ekonomi dan Bisnis, Kadin Kota bandung, February 2008.

Senin, 10 November 2008

Hukum Ketenagakerjaan Di Indonesia


BAB I
PENGANTAR
Hukum ketenagakerjaan di Indonesia masih belum stabil dan masih banyak pekerja yang belum tau akan adanya hukum tersebut. Di Indonesia sering kali banyak terjadi demo. Hal ini tidak lain disebabkan oleh adanya suatu pihak yang dirugikan. Dalam hal ini saya paparkan bahwa yang sering merasa dirugikan adalah buruh. Buruh merupakan kelompok pekerja dalam suatu bidang usaha merupakan mitra yang penting bagi pengusaha didalam menjalankan roda kegiatan ekonomi. Disatu pihak pengusaha memiliki modal dan membutuhkan buruh untuk melaksanakan pekerjaan pekerjaan tertentu untuk kepentingan pengusaha, dan dilain pihak buruh membutuhkan pekerjaan dan memberikan kontribusi tenaga dan pikirannya untuk melaksanakan pekerjaan yang dibebankan pengusaha kepadanya dengan menerima sejumlah imbalan yang ditentukan. namun seringkali terjadi pelanggaran hak-hak buruh yang dilakukan oleh pengusaha, yang mana pelanggaran tersebut misalnya pembayaran upah yang dibawah standard peraturan pemerintah atau pembayaran lembur yang dibawah ketentuan pemerintah dan lain-lain. Perjalanan sejarah gerakan buruh di Indonesia mengalami kemunduran sejak reji demokrasi terpimpin (orde lama). Hal ini lebih diperkuat tatkala
rejim orde baru mengambil kebijakan industrialisasi untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang diinginkan.1
Pembaharuan peraturan-peraturan pemerintah mengenai ketenagakerjaan dari waktu ke
waktu merupakan wujud komitmen pemerintah untuk terus menyempurnakan aturan aturan
normatif ketenagekerjaan untuk dapat memenuhi rasa keadilan bagi dunia
1 Tim PMK-HKBP,Pengetahuan Dasar tentang Hak-Hak Buruh,Cetakan IV, Yakoma PGI, Jakarta, 2002
2 ketenagakerjaan yang didalamnya terdapat pihak pengusaha dan buruh (pekerja).
Ketentua-ketentuan ketenagakerjaan yang dikeluarakan pemerintah bertujuan untuk
mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia, akan tetapi pemerintah pula sering
mengeluarkan kebijakan aturan normatif yang tidak jelas dan tidak mengatur secara
mendetil aturan-aturan tersebut sehingga menimbulkan banyak makna penafsiran oleh
pihak pengusaha, hal ini tentu akan banyak menimbulkan konflik antara pengusaha dan
tenaga kerja.
Adanya acuan yang tidak jelas ini dapat memicu perbedaan persepsi antara pengusaha
dan tenaga kerja yang berujung kepada mogok kerja yang dilakukan oleh tenaga kerja
ataupun penutupan perusahaan untuk sementara oleh pengusaha, yang nantinya
mengakibatkan kerugian kepada kedua belah pihak.
Buruh sebagai sumber daya manusia yang merupakan penggerak perusahaan cenderung
menggunakan aksi mogok kerja yang biasanya dilakukan secara kelompok sebagai upaya
untuk menyampaikan maksud ataupun tuntutan tertentu kepada pihak pengusaha. Mogok
kerja dalam arti berhenti beraktivitas untuk waktu yang tidak ditentukan dalam usaha
menyalurkan aspirasinya kepada pihak pengusaha.
Seperti kita ketahui bersama Indonesia merupakan sebuah negara yang berkembang.
Sebagai negara yang sedang berkembang tentu Indonesia mengharapkan adanya
percepatan pembangan pertumbuhan ekonomi dengan masuknya investasi asing ke
Indonesia. Penanaman modal asing ini merupakan akselerasi perkembangan ekonomi
yang nantinya diharapkan ikut berperan dalam pensejahteraan nasib rakyat Indonesia.
Sejalan dengan masuknya Investasi ke Indonesia maka hal ini mendorong pencipataan
lapangan kerja baru bagi rakyat yang dapat menurunkan angka pengangguran yang
merupakan salah satu masalah krusial Indonesia yang juga merupakan masalah-masalah
yang banyak dihadapi oleh negara-negara dunia yang sedang berkembang.

BAB II
PERMASALAHAN
Sering kita jumpai berita-berita di media massa mengenai pemogokan yang dilakukan
para tenaga kerja atau buruh di berbagai perusahaan. Berita-berita tersebut memberikan
gambaran bahwa hubungan antara buruh dan majikan tidak berjalan dengan harmonis.
Terjadinya suatu pemogokan yang dilakukan oleh kaum buruh di suatu perusahaan tidak
terlepas dari berbagai masalah yang dihadapi para buruh yang bersangkutan, misalnya
rendahnya upah buruh, serta ada kemungkinan hak-haknya tidak diperhatikan oleh pihak
majikan. Oleh karena itu, perlu upaya dari pihak majikan untuk mencari pemecahan
apabila terjadi suatu pemogokan.2
Pada prinsipnya mogok kerja (strike) merupakan hak dasar pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya
perundingan (Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003). Yang dimaksud
gagalnya perundingan adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang dapat disebabkan oleh salah satu pihak tidak mau melakukan
perundingan atau perundingan menemui jalan buntu. Pengertian tertib dan damai disini
adalah tidak mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam
keselamatan jiwa dan harta benda perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik
masyarakat.
Ada beberapa aturan mogok kerja yang merupakan aturan normatif seperti antara lain
mogok kerja wajib memeatuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, dan Undang-Undang Nomor 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan, para pekerja/buruh juga harus memperhatikan Undang-Undang
2 Djaja Sembiring Meliala, “Eksistensi dan Pelaksanaan Hak Mogok Menurut Hukum Perburuhan” Tesis
Pasca Sarjana Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1994, hlm. 92
4
Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,
dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Bentuknya bila pekerja/buruh akan melaksanakan mogok kerja didalam perusahaannya,
ia harus memberitahukan kepada pengusaha dan instansi berwenang. Sedangkan bila
akan melaksanakan mogok kerja dan unjuk rasa atau demonstrasi di luar perusahaan,
disamping harus memberitahukan kepada pengusaha dan instansi berwenang (Disnaker),
juga harus memberitahukan kepada aparat berwajib (Kepolisian) setempat.3
Kendatipun hak mogok kerja diakui oleh Undang-undang; tetapi sebelum mogok kerja
dilakukan harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :4
a. Benar-benar sudah diadakan perundingan yang mendalam mengenai pokok-pokok
perselisihan antara serikat pekerja dan majikan.
b. Benar-benar permintaan untuk berunding telah ditolak oleh pihak pengusaha.
c. Telah 2 (dua) kali dalam jangka waktu (dua) minggu tidak berhasil mengajak
pihak lainnya untuk berunding.
Disatu pihak mogok kerja merupakan senjata ampuh dalam upaya memenuhi aspirasi
buruh atau tenaga kerja namun dilain pihak hal ini merupakan potret buram kondisi
kehidupan ketenagkerjaan Indonesia yang mempengaruhi pengambilan keputusan bagi
pihak asing dalam menentukan penanaman modalnya di Indonesia. Suasana yang tidak
kondusif merupakan hambatan bagi investor asing dalam menanamkan modalnya di
Indonesia, kalau ini terjadi tentu upaya beban pemerintah untuk mengurangi angka
pengangguran akan gagal dan perekonomian Indonesia akan tetap terpuruk.
Hal semacam tesebut diatas perlu disikapi baik-baik oleh semua pihak, pemerintah dalam
hal ini harus tanggap, bagaimana sebaiknya memberlakukan aturan-aturan normatif hak
mogok bagi buruh dengan tetap menjaga iklim investasi yang sehat.
3 Abdul Khakim, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia berdasarkan UU No.13 Tahun 2003,Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 97
4 Ibid.

BAB III
PENYELARASAN EKSISTENSI HAK MOGOK DENGAN
PENGEMBANGAN INVESTASI ASING DI INDONESIA
1. Pengertian Hak Mogok
Maslow mengemukakan suatu konsep yang membedakan lima tingkat kebutuhan
manusia, mulai dari kebutuhan dasar (fisik), kebutuhan keamanan atau keselamatan,
kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan dan kebutuhan kemampuan diri. Bila
diperhatikan, kebutuhan yang dikemukakan di atas, tentu, kebutuhan tersebut merupakan
bagian terpenting dari hidup manusia (buruh) yang harus dipenuhi. Kaum buruh tidak
mungkin melakukan pekerjaannya dengan tenang dan baik apabila berbagai
kebutuhannya tidak dipenuhi. Kaum buruh tidak mungkin melakukan pekerjaannya
dengan tenang dan baik apabila berbagai kebutuhannya tidak dipenuhi. Sehubungan
dengan itu, para majikan harus dapat memahami berbagai kebutuhan yang diperlukan
oleh buruh atau pekerjanya.5
T.M. Fraser begitu tepat menguraikan suatu jawaban tentang bagaimana
mengatasi rasa ketidakpuasan dari kaum buruh atau pekerja melalui tulisannya sebagai
berikut :
Program pemanusiawian pekerjaan adalah suatu kemajuan akhir yang paling
fundamental dalam usaha memperbaiki keadaan manusia didalam industri. Dilihat
dari sudut kebutuhan manusia akan perubahan dan perlunya rangsangan terusmenerus
dalam lingkungan kerja, sudah selayaknya kita memeriksa kembali
bagian dari sifat dasar dan pemahaman mengenai pelaksanaan tersebut.
Oleh karena itu diharapkan agar diadakan perubahan secara terus-menerus mengenai
rangsangan yang menyangkut kebutuhan manusia itu sendiri. Dengan memenuhi berbagai
kebutuhan manusia (buruh), tentunya tidak akan terjadi tindakan-tindakan yang dapat
menghambat suasana kerja yang tenang.6
5 Djaja Sembiring Meliala, Op.cit., hlm. 93
6 Ibid.
6
Suatu tindakan pemogokan dapat dianggap sebagai upaya terakhir dari para buruh dan
perlu digunakan andaikata hasil perundingan ke arah perdamaian tidak mencapai kata
kesepakatan antara pihak buruh dan majikan. Pada tahun 1950, berdasarkan Undang-
Undang Keadaan Perang dan Darurat Perang dikeluarkanlah Peraturan Militer No. 1
Tahun 1951 yang melarang adanya pemogokan. Larangan mogok ini hanya berlaku bagi
perusahaan yang bersifat vital saja. Walaupun larangan mogok tidak meliputi semua
perusahaan, namun dapat disimpulkan bahwa pemogokan bukanlah cara yang sesuai
dengan budaya bangsa Indonesia di dalam menyelesaikan persoalan yang menyangkut
hubungan antara kaum buruh dengan majikan. Kemudian Peraturan kekuasaan Militer
tersebut diganti dan disempurnakan dengan Undang-Undang Darurat No. 16 Tahun 1951.
Mogok kerja adalah merupakan hak dasar pekerja dan serikat pekerja. Mogok kerja harus
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.7. Pengertian
tertib dan damai adalah tidak menganggu keamanan dan ketertiban umum,dan/atau
mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau
orang lain atau milik masyarakat8. Mogok Kerja adalah suatu tindakan yang dilakukan
oleh Pekerja/Buruh didalam perusahaan dengan cara9 :
a. Secara bersama-sama, atau sebagian
b. Berhenti bekerja atau memperlambat pekerjaan
c. Mogok duduk dengan orasi
Menurut Konvensi Internasional Labour Organization (ILO) tahun 1948 ada 4 (empat)
hak buruh, yang disebut sebagai Hak dasar sosial, yaitu10 :
1. Hak Berserikat;
2. Hak Berunding Kolektif;
3. Hak Mogok; dan
4. Hak mendapat upah.
7 Hardijan Rusli, Hukum Ketenagekerjaan 2003,Ghalia Indonesia, Jakarta, 2003, hlm.162
8 Ibid, hlm.165
9 H. Srijono, Kapita Selekta Ketenagakerjaan dan Pengaturannya Dalam Per –UU an Pegangan Pengelola
SDM Sehari-hari, Penerbit tidak diketahui,2001 ,hlm 24.
10 Darwan Prinst, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000,hlm.247
7
Dari hal tersebut diatas diketahui bahwa pada dasarnya eksistensi hak mogok tersebut
mendapat pengakuan dari hukum positif Indonesia dan konvensi Internasional sejauh hak
mogok tersebut sesuai dengan koridor hukum.
2. Segi-segi Positif dan Negatif dari Pemogokan
Pembahasan mengenai segi-segi positif dan negatif dari pemogokan, merupakan langkah
yang penting, karena dapat diketahui lebih jelas apa untung dan ruginya jika terjadi suatu
pemogokan. Apabila kita berbicara mengenai pemogokan khususnya masalah untung dan
rugi, maka hal tersebut tidak terlepas dari masalah kehidupan sosial ekonomi dan
stabilitas nasional. Kehidupan sosial ekonomi buruh yang bersangkutan dan sebagian
masyarakat.11
Jika dihubungkan dengan kehidupan sosial ekonomi sebenarnya tindakan pemogokan itu
sangat merugikan pihak buruh, karena buruh yang bersangkutan bisa kehilangan mata
pencaharian, dalam jangka waktu tertentu, bahkan ada kemungkinan buruh yang
bersangkutan akan terkena pemutusan hubungan kerja. Selain merugikan pihak buruh,
pemogokan itu, juga merugikan masyarakat, karena bisa terjadi barang-barang-barang
yang dibutuhkan masyarakat tidak beredar di pasar, sehingga tidak menyebabkan naiknya
harga.12
Tindakan penutupan perusahaan atau pemogokan pada prinsipnya tidak sesuai dengan
budaya bangsa kita yang berasaskan kekeluargaan. Suatu konflik sebaiknya diselesaikan
secara musyawarah untuk mufakat demi menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Apabila suatu konflik antara pihak buruh dan majikan berakhir dengan suatu pemogokan,
maka akan ada kemungkinan para buruh akan melakukan tindakan yang melanggar
hukum, misalnya terjadi perusakan. Jika terjadi suatu perusakan, maka orang yang
melakukan itu dapat diminta pertanggungjawabannya dari sudut hukum pidana.
Walaupun pemogokan itu dimungkinkan dalam hal-hal tertentu (bagi perusahaan yang
11 Djaja Sembiring Meliala, op.cit hlm 120
12 Ibid
8
yang tidak bersifat vital), namun tindakan tersebut hanya merupakan jalan pintas yang
bersifat emosional dan sering tidak terkendali, maka keadaan dapat menjadi lebih buruk
sehingga memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya pemukulan
atau pelemparan terhadap perusahaan, bahkan bisa terjadi pemukulan terhadap majikan.
Sebenarnya dengan melakukan pemogokan, para buruh menaruh suatu harapan agar
tuntutan mereka dipenuhi oleh pihak majikan. Tindakan pemogokan itu adalah sebagai
upaya pemaksa dalam rangka memperjuangkan kepentingan buruh. Persoalannya
sekarang adalah, apakah dengan pemogokan itu, tuntutan buruh akan dikabulkan oleh
pihak pengusaha atau tidak? Jawabannya sederhana saja, yaitu apabila pengusaha telah
merencanakan suatu target tertentu, misalnya telah mengadakan kontrak dengan
perusahaan lain mengenai penyediaan barang tertentu, dan sebelum isi kontrak dipenuhi
telah terjadi pemogokan, maka kondisi yang demikian memaksa pengusaha mau tidak
mau harus memenuhi permintaan buruh. Para pengusaha harus menjaga hubungan baik
sesama pengusaha, agar bonafitas mereka tidak tercemar. Karena di samping uang,
kepercayaan adalah merupakan modal yang penting bagi pengusaha. Jika pihak
pengusaha atau konsumen, maka ada kecendrungan tuntutan buruh akan dikabulkan.
Akan tetapi, andaikata pihak pengusaha tidak mempunyai target tertentu yang harus
diselesaikan pada saat terjadinya pemogokan, maka ada kecendrungan pihak pengusaha
akan bertahan, dan dalam kondisi yang demikian pihak buruh akan mengalami kesulitan
atau kerugian. Dengan demikian walaupun dimungkinkan pemogokan dalam hal-hal
tertentu, namun, sebaiknya penyelesaian suatu konflik di suatu perusahaan dilakukan
dengan musyawarah untuk mufakat.
Uraian-uraian diatas menggambarkan bahwa eksistensti hak mogok menimbulkan
implikasi yang kompleks terhadap berbagai bidang, hal ini juga mempengaruhi keputusan
pihak asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, pada uraian berikut akan coba
mengupas implikasi antara hak mogok dan pengaruhnya secara langsung maupun tidak
langsung terhadap penanaman modal asing di Indonesia.
9
3. Pengertian Modal Asing.
Definisi tentang modal asing dapat dimulai dengan menelaah teori pertumbuhan ekonomi
Harrod-Domar. Pada paparannya Harrod dan Domar tetap mempertahankan pendapat
dari ahli-ahli ekonomi terdahulu yang menekankan peranan pembentukan modal dalam
penciptaan pertumbuhan ekonomi (Harrod-Domar dalam sukirni ; 1985 : 286)13. Menurut
Hamdy Hady (1999 : 95) Penanaman Modal lagsung yaitu investasi secara nyata (riil)
dalam bentuk pendirian perusahaan, pembangunan pabrik, pembeliaan barang modal,
pembelian lahan, bahan baku serta persediaan dimana investor terlibat langsung dalam
manajemen perusahaan dan mengontrol aktivitas penanaman modal tersebut dalam
konteks Internasional, bentuk investasi ini biasanya dilakukan oleh perusahaan
multinasional dengan aktivitas investasi umumnya dibidang manufaktur, ekstrasi dan
eksplorasi sumber daya alam, industri jasa dan sebagainya.
Jepang merupakan negara terbesar yang melakukan PMA langsung sektor industri
manufaktur di Indonesia, dimana pada tahun 2000 (s/d Juni) tercatat masih melakukan
aktifitas PMA langsung pada hampir semua bidang industri manufaktur sebanyak 18
buah proyek dengan total nilai sebesar 895,672 Juta dollar AS, kemudian diikuti dengan
kesatuan negara-negara Uni Eropa seperti Inggris pada urutan kedua sebanyak 11 buah
proyek di bidang industri makanan, industri kertas, industri kimia dan industri mineral
dengan total nilai investasi sebesar 135,121 Juta Dollar, Belanda sebesar 10,773 Juta
Dollar AS, Jerman sebesar 8,587 Juta Dollar AS, dan Perancis sebesar 470 Juta Dollar
AS, Singapura sebagai sebuah Negara tunggal menduduki urutan ketiga sebanyak 38
buah proyek dengan total nilai investasi 103,737 Juta Dollar AS, kemudian Amerika
Serikat dengan 5 buah proyek di bidang industri perkayuan, farmasi, kimia dan barang
logam dengan total nilai investasi sebesar 13,628 Juta Dollar.14
13 Fitra Kurnia, “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing Langsung Sektor Industri
Manufaktur di Indonesia”, Tesis,Pascasarjana Fisip UI,Jakarta, 2000, hlm 16
14 Ibid.hlm 105.
10
Ada dua faktor yang mempengaruhi keputusan penciptaan daya tarik PMA sektor industri
manufaktur di Indonesia yaitu :
1. Faktor Internal adalah faktor-faktor yang berupa kekuatan-kekuatan atau keunggulan
negara tuan rumah yang dapat mengungguli negara pesaing dan kelemahankelemahan
dalam suatu negara tersebut yang harus ditanggulangi, faktor ini
digolongkan kedalam faktor penarik dari suatu negara tuan rumah aktifitas PMA
langsung.
2. Faktor Eksternal adalah faktor-faktor yang dapat mengidentifikasi faktor dari
lingkungan yang menggambarkan peluang-peluang serta ancaman atau tantangan
dari negara tuan rumah tersebut. Faktor eksternal ini digolongkan kedalam faktorfaktor
yang mendorong (push factor) kepeutusan Penanaman Modal Asing langsung
dari suatu negara asal.
Menurut Philip Kotler (1997 : 35) faktor-faktor yang mempengaruhi daya tarik investasi
di suatu negara tuan rumah terbagi dalam :
1. Faktor Penarik (Pull factor) ; yaitu faktor-faktor yang dimiliki oleh negara tuan
rumah (host country) yang dapat menjadi penarik bagi aktifitas PMA langsung.
Faktor ini dapat diuraikan kedalam faktor-faktor kekuatan (strength) dan kelemahan
(weakness). Bagi Indonesia faktor-faktor ini dapat diuraikan yaitu :
a. Faktor Kekuatan (Strength) ; Indonesia memiliki banyak faktor yang menjadikan
Indonesia memiliki daya tarik lebih dari negara-negara lain seperti memiliki
kebijakan pemerintah yang mendukung, sumber daya yang cukup, letak goegrafis
yang strategis, jumlah penduduk yang banyak serta upah buruh yang murah.
b. Faktor Kelemahan (weakness) ; Indonesia masih memiliki beberapa kelemahan yang
dapat menjadikan posisi Indonesia kurang menarik perhatian para PMA seperti
11
tingkat penguasaan RISTEK yang rendah, produktivitas tenaga kerja yang kurang,
serta kondisi sosial politik negara yang pada akhir-akhir ini masih belum kondusif
baik bagi investor asing sendiri maupun kalangan dunia usaha domestik.
2. Faktor Pendorong (push factor) ; yaitu faktor-faktor yang mendorong suatu negara
melakukan penanaman modal ke negara lain. Faktor ini terbagi dalam faktorfaktor
yang dapat menjadi peluang (opportunity) yang harus bisa dimanfaatkan
oleh negara tuan rumah (host country) maupun dapat juga menjadi ancaman
(threats) yaitu :
a. Faktor Peluang (opportunity) ; Indonesia pada era globalisasi ini mendapat
peluang yang lebih baik untuk dapat menarik arus PMA langsung dari negaranegara
investor. Ciri-ciri dari globalisasi yang umumnya seperti semakin tipisnya
batas-batas antar negara, meningkatnya perdagangan dalam industri (intra firm
trade), meningkatnya perdagangan regional (intra regional trade) maupun dengan
ikutnya Indonesia dalam blok-blok ekonomi baru seperti APEC, AFTA, maupun
dengan munculnya blok ekonomi lain seperti NAFTA dan Uni Eropa. Jika
Indonesia dapat menarik Investor dari negara-negara anggota blok ekonomi
tersebut maka Indonesia secara tidak langsung dapat mengambil peluang
(oppurtunity) dari era globalisasi yang tengah berlangsung ini.
b. Faktor Ancaman (Threats) ; posisi Indonesia dalam menarik arus investasi asing
ini mendapat ancaman baik dari negara asal modal seperti isu pelanggaran HAM,
isu upah buruh dibawah kebutuhan fisik minimum, tenaga kerja anak-anak
maupun dari negara yang juga menginginkan masuknya PMA asing ke negaranya
baik dari sesama negara Asia, China, Tahiland, Vietnam juga dari negara-negara
non Asia khsususnya negara-negara Eropa Timur.
Faktor Ancaman yang melibatkan isu upah buruh dibawah kebutuhan fisik minimum
inilah yang sering menjadi pemicu pemogokan bekerja di sebagian besar perusahaanperusahaan
Indonesia. Hak untuk mogok kerja (Strike) adalah hak yang telah mendapat
12
tempat tersendiri didalam tata hukum ketenagakerjaan Indonesia akan tetapi seringkali
pula pihak buruh tidak mengindahkan prosedural yuridis didalam melaksanakan hak
tersebut seperti mogok dilakukan bila perundingan bersama pengusaha menemukan jalan
buntu atau juga pemberitahuan mogok kerja kepada pihak berwenang sebelum mogok
kerja benar-benar dilakukan.
Diakui bahwa mogok kerja adalah dibenarkan apabila dilakukan sesuai prosedur akan
tetapi disisi lain pelaksanaan hak mogok oleh pihak buruh juga mendapat dapat
menimbulkan kerugian bagi pihak pengusaha, kerugian yang dimaksud dapat meliputi
kerugian secara materi yaitu penusaha kehilangan keuntungan produksi yang seharusnya
diperoleh dan atau juga kerugian secara moral dimana perusahaan tersebut telah melekat
stigma bahwa perusahaan tersebut merupakan perusahaan bermasalah yang dapat
menurunkan kredibilitas perushaan itu sendiri dimata masyarakat nasional maupun
Internasional, sehingga dapat menimbulkan keenganan bagi perusahaan-perusahaan
ataupun pihak-pihak lain yang ingin bermitra bisnis dengan perusahaan tersebut.
Dipihak Pemerintah sendiri, tidak jelasnya penafsiran Undang-Undang Ketenagakerjaan
yang mengatur kehidupan ketenagakerjaan di Indonesia dan adanya oknum-oknum aparat
Departemen Tenaga kerja yang melakukan pungli dan pemerasan terhadap perusahaanperusahaan
asing dengan mengangkat isu masalah ketenagkerjaan menjadi menambah
sederatan panjang ketidakberesan dan ketidakpastian hukum di Indonesia.
Hal-hal tersebut diatas merupakan faktor penting yang harus disikapi oleh berbagai pihak
yang terkait termasuk buruh dan pengusaha. Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia
merupakan negara yang sedang berkembang yang sangat membutuhkan modal untuk
membangun bangsa dan negara dengan menarik investor asing untuk mananamkan
modalnya ke Indonesia, akan tetapi apabila hal-hal tersebut diatas tidak segara dibenahi
maka niscaya setiap perusahaan asing yang akan menanamkan modalnya di Indonesia
akan berfikir seribu kali lagi atau juga mungkin perusahaan-perusahaan asing yang sudah
sempat menanamkan modalnya di Indoensia akan segera memindahkan perusahaan
13
maupun modalnya keluar Indonesia untuk ditanamkan di negara lain yang kondisi
sosialnya lebih stabil.
Sekalipun hak mogok sesuai ketentuan yuridis dibenarkan akan tetapi ada baiknya setiap
permasalahan diselesaikan secara kompromistis. Pengusaha disatu pihak harus mampu
mengikuti ketentuan Pemerintah mengenai pemenuhan upah yang layak dan tingkat
kesejahteraan yang memadai yang diberlakukan kepada buruh, buruh diharapkan dapat
memberikan jasa yang menunjang produktivitas yang optimal dan pemerintah dapat pula
berperan sebagai fasilitator dalam menangani dan mengawasi hubungan ketenagakerjaan
yang ideal.
Iklim ketenagakerjaan yang kondusif tentu akan mendorong para investor asing untuk
mengambil keputusan menanamkan saham/modalnya di Indonesia yang dapat
mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, memecahkan masalah pengangguran yang
merupakan masalah global di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Bila setiap
pihak mampu menahan diri untuk dapat duduk bersama memecahkan masalah yang
timbul maka mogok kerja dari pihak buruh ataupun penutupan perusahaan dari pihak
pengusaha dapat dihindari yang dapat membawa kerugian kepada masing-masing pihak.
Penegakan hukum ketengakerjaan secara konsisten dan jujur dari pihak pemerintah
adalah faktor yang tidak kalah pentingnya untuk memberikan jaminan kepada pihak
buruh untuk memperjuangkan hak-haknya dan sekaligus memberikan kepastian hukum
terhadap pemegang modal (investor).
-----------

BAB IV
KESIMPULAN/SARAN
Dalam rangka menciptakan suasana kerja yang harmonis dan produktivitas yang cukup
tinggi, maka tiada lain harus diciptakan kondisi yang kondusif terhadap buruh sebagai
tulang punggung perusahaan. Dengan menempatkan para buruh dalam kondisi yang
menyenangkan, maka berbagai kekhawatiran yang terjadi dapat diminimalisir, seperti
kekhawatiran akan terjadi pemogokan. Dalam diri mereka harus ditanamkan sedini
mungkin prinsip “sense of belonging” agar tidak ragu-ragu bekerja untuk perusahaan.
Dengan memberikan kepercayaan yang cukup besar kepadanya, maka hubungan antara
buruh dan majikan dapat berjalan dengan baik, dan dengan demikian diharapkan mereka
tidak akan melakukan pemogokan. Masalah-masalah hubungan industrial dalam bentuk
keresahan pekerja, unjuk rasa dan pemogokan sangat menganggu proses produksi
sehingga merugikan pekerja sendiri, pengusaha dan seluruh masyarakat pada umumnya.
Sebab itu, masalah-masalah hubungan industrial tersebut termasuk perselisihan antara
pengusaha dan pekerja harus diselesaikan sejak dini. 15
Hak mogok merupakan hak prinsipil yang dimiliki oleh buruh yang dilindungi oleh
Undang-Undang, akan tetapi hendaknya hak tersebut diletakkan kepada koridor prosedur
yuridis yang sudah diatur dengan Undang-Undang. Perlu dipahami pula bahwa tak dapat
dipungkiri Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang yang siap membangun
negara dengan salah satu upaya adalah menarik minat investor asing untuk menanamkan
modalnya ke Indonesia. Investasi ekonomi dari luar negeri merupakan faktor akselerasi
untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi bangsa, akan tetapi apabila iklim dunia kerja
di Indonesia tidak kondusif terhadap penanaman modal asing maka sudah tentu investor
asing menolak untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena membayangkan
kerugian yang akan ditanggung apabila kerap terjadi gejolak dalam bentuk mogok kerja
yang banyak dilakukan pihak tenaga kerja/buruh. Pemerintah dalam hal ini harus dapat
menerapkan penegakkan hukum ketenagakerjaan yang tegas misalnya menolak mogok
15 Payaman J. Simanjuntak, Masalah-Masalah Hubungan Industrial Di Indonesia, Himpunan Pembina
Sumber Daya Manusia Indonesia (HIPSMI), Jakarta,1992, hlm.41
15
kerja yang dilakukan tidak sesuai prosedur ataupun juga melakukan pengawasan yang
optimal terhadap perusahaan-perusahaan yang tidak memberlakukan peraturan
ketengakerjaan dengan benar di lingkungan perusahaannya.
Ada banyak hal yang dapat dilakukan oleh pihak pengusaha untuk menyelesaikan
permasalahan tenaga kerja dengan dengan melakukan kontrol dan pengawasan serta
pendekatan terhadap karyawannya, seperti menurut Richards S. Deems, Ph.D. :
Ten Tips for Putting the CARE and CONTROL Approach into Action16
1. Take time to review the termination situation to ensure that all company policies are
being followed.
2. Take time to prepare your script – your outline of what you plan to say
3. Anticipate how the employee might react to the termination, and plan how you will
respond.
4. Always include at least one other supervisor or manager to assist you during the
termination meeting.
5. Conduct the termination discussion at a time and in a place where both the
employee and the remaining employees will not be unduly embarrassed.
6. Identify a way to exit the building that will cause the least embarrassment to the
employee and the remaining employees.
7. Always prepare a brief summary report of the termination meeting and file it
appropriately.
8. Take time to notify remaining employees and, when appropriate, affected company
customers.
9. Use the Termination Planning Guide (in back) to review your entire planning
process.
10. Remember always to think CARE and CONTROL.
---------
16 Richards S. Deems, I have to Fire Someone, American Media Publishing,USA, hlm.100
16
DAFTAR PUSTAKA
* Buku
Rusli, Hardijan., Hukum Ketengakerjaan 2003, Cetakan Pertama,Ghalia Indonesia,
Jakarta, 2003.
Simanjuntak, Payaman, Masalah Hubungan Industrial Di Indonesia, Edisi kedua,
Himpunan Pembina SumberDaya Manusia Indonesia, Jakarta, 1992.
Prinst, Darwan, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Buku Pegangan Bagi Pekerja
Untuk Mempertahankan Hak-haknya), Citra Aditya Bakti, Bandung,
2000.
Tim PMK-HKBP, Pengetahuan Dasar Tentang Hak-Hak Buruh, Cetakan Keempat,
Yakoma PGI, Jakarta, 2002.
Khakim, Abdul, Hukum Ketenagakerjaan Indonesia (Berdasarkan Undang-Undang
Nomor 13 tahun 2003), Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003.
Srijono, Kapita Selekta Ketenagkerjaan Dan Pengaturannya dalam Perundang-
Undangan Pegangan Pengelola SDM sehari-hari, Penerbit tidak
diketahui, tanpa tahun.
* Tesis
Sembiring Meliala, Djaja, Eksistensi Dan Pleaksanaan Hak Mogok Menurut Hukum
Perburuhan Indonesia, Tesis S2 pada Program PascaSarjana
Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1994.
17
Kurnia, Fitra, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penanaman Modal Asing
Langsung Sektor Industri Manufaktur Di Indonesia, Tesis S2 pada
Program PascaSarjana Fakultas Ilmu Sosial Politik UI, Jakarta, 2000.
-----------
Dikutip dari :
CHRISTHOPHORUS BARUTU, SH.,MH
Staf Advokasi & Kebijakan Publik DPN APINDO
18