Selasa, 18 November 2008

TUGAS 6 :SISTEM PENGUPAHAN DI INDONESIA

Sistem Pengupahan di Indonesia

Latar Belakang
----------------------
Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka Kehidupan hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga mendasarkan penentuannya melalu mekanisme konsultasi tripartit dalam menetapkan upah minimum antara wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintahan selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator bila diperlukan pada akhirnya akan juga berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya secara hukum.

Sementara itu sebagian kalangan berargumen bahwa penentuan upah melalui mekanisme tripartit dan berbasiskan pada biaya hidup sangatlan jauh dari upaya pencapaian kondisi perekonomian yang pro terhadap keberlanjutan economic growth, perluasan lapangan kerja dan produktifitas bangsa. Sistem yang ada dinilai lebih cenderung mengarah pada arogamsi pola pemerintahan yang tetap memiliki paradigma lama bahwa peran pemerintah adalah superior dalam perekonomian sektor riil. Selain itu, sistem yang ada juga dinilai lebih banyak mengakibatkan menurunnya daya saing industri, daerah dan sekaligus juga daya saing negara terutama sebagai daya tarik terhadap investor baik PMA maupun PMDN.

Karenanya sering digaungkan wacana dan pendapat agar sistem pengupahan harus didasarkan secara proposional juga pada tingkat produktifitas tenaga kerja. Apindo dalam hal ini merupakan pihak yang paling dominan menginginkan adanya sistem pengupahan berbasiskan produktifitas agar pertumbuhan sebuah perusahaan, industri, bahkan wilayah sejalan dengan tingkat kesejahteraan pegawainya, tenaga kerjanya dan masyarakatnya secara respektif. Namun ini tidak berarti bahwa pihak pekerja tidak mendukungnya pula. Pihak dari Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) dalam sebuah surat kabar nasional pernah mengatakan bahwa yang diinginkan oleh pekerja adalah suatu sistem pengupahan yang selain menciptakan kualitas hidup layak juga mendorong produktifitas. Upah yang diterima pekerja sebaiknya didasarkan kepada kesepakatan antara pengusaha dan serikat pekerja saja (PKB) saja, dengan catatan bila perusahaan untung maka pekerja layak mendapatkan kenaikan upaha namun bila perusahaan rugi maka dimungkinkan pekerja tidak dinaikkan upahnya.

Dalam hal ini rupanya terdapat kesepakatan diatas permukaan opini antara pihak pengusaha dan pekerja bahwa sistem pengupahan yang baik adalah sistem pengupahan yang mengedepankan pertimbangan produktifitas tenaga kerja, bukan hanya mendasarkan penentuan upah minimum pada kemampuan daya beli dan inflasi saja. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah bagaimana mengukur secara seakurat mungkin tingkat produktifitas umum sebuah wilayah? bahkan bila perlu tingkat produktitas parsial secara detail baik di tingkat industri maupun tingkat perusahaan secara individual.

Definisi Upah:
--------------------
· Upah bagi pekerja merupakan hak yang harus diperoleh karena nilai sumbangsihnya dalam proses produksi menciptakan nilai tambah.

· Upah harus mencerminkan nilai jabatan yang dipangku seseorang di suatu organisasi perusahaan dan organisasi-organisasi pada umumnya dalam suatu industri. Nilai jabatan yang lebih tinggi akan memberikan besaran upah yang lebih tinggi.

· Besarnya upah yang diterima seseorang atau perbedaan nilai jabatan harus mencerminkan rasa keadilan dalam organisasi itu (equity) dan nilai jabatan yang ada di pasar (kompetitif).

· Tidak ada kenaikan upah tanpa kenaikan nilai jabatan kecuali bagi perusahaan yang mampu dapat melakukan penyesuaian atau pemberian insentif untuk mempertahankan karyawan yang baik.

· Mekanisme penyesuaian diatur dalam ketentuan perusahaan dengan mempertimbangkan prestasi kerja yang telah dicapai secara individu


Definisi Produktifitas (APINDO, 2005)
-------------------------------------------------------
· Produktivitas tenaga kerja merupakan bagian kewajiban tingkat hasil kerja yang harus diberikan pekerja kepada pemberi kerja.

· Peningkatan produktivitas tenaga kerja merupakan tanggung jawab dari berbagai pihak; perusahaan menyediakan alat, fasilitas pelatihan, dan prasarana kerja lainnya, sementara karyawan berkewajiban untuk menampilkan ethos kerja, sikap peduli dan

· disiplin yang baik, berinisiatif untuk melakukan perbaikan hasil kerja secara terus menerus.

· Peningkatan produktivitas merupakan sumber dasar perbaikan upah riil dan standar hidup. Peningkatan produktivitas juga merupakan tekanan anti inflasi dalam mengimbangi atau menyerap peningkatan upah riil.

· Tingkat produktivitas tenaga kerja berbanding lurus dengan tingkat upah pada umumnya.

Definisi Produktivitas (ILO):
----------------------------------------
Pengukuran seberapa baik sumber daya yang digunakan bersama didalam organisasi untuk menyelesaikan suatu kumpulan hasilhasil. Meurut ILO produktifitas adalah Perbandingan antara elemen-elemen produksi dengan yang dihasilkan merupakan ukuran produktivitas. Elemen - elemen produksi tersebut berupa : tanah, kapital, buruh, dan organisasi.

Definisi Produktivitas (DPN):
----------------------------------------
Sikap mental yang selalu mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin dan hari esok lebih baik dari hari ini. Pada dasarnya produktivitas harus dapat memenuhi unsur efektifitas, efisien dan kualitas.

Tingkat Produktifitas Secara Umum
---------------------------------------------------
Secara makro ekonomi PDB/PDRB dapat dihitung dengan beberapa methode dan indikator: (1) Produksi (2) Pengeluaran, dan (3) Penerimaan. Dalam kaitannya dengan produktifitas maka dengan PDB/PDRB pula dapat kita hitung berapa Total Factor Productifity (TFP) dari sebuah negara. TFP menggambarkan sejauh mana faktor produksi sebuah wilayah/negara yaitu modal (Kapital) dan Tenaga Kerja (Labor) dapat bersinergi sehingga perekonomian di wilayah/negara tersebut dapat menghasilkan output yang lebih besar. Angka TFP yang tinggi di suatu daerah menunjukkan bahwa output yang dihasilkan dapat diperoleh melalui input yang sedikit saja (produktifitas tinggi).


Tabel 1. Perbandingan TFP Secara Umum Beberapa Negara
-----------------------------------------------------------------------------------------
Dengan meminjam model makro ekonomi: Yt = ZtF(Kt,Lt), Total Factor Productivity (TFP) didefiniskan sebagai berikut Yt/F(Kt,Lt) . TFP juga sering digunakan sebagai proksi dari tingkat teknologi yang berlaku disebuah daerah. Dengan penggunaan sedikit mungkin faktor produksi K dan L dan dihasilkan suatu tingkat output tertentu ini mengartikan bahwa terdapat faktor lain yang ikut berperan dalam pembentukan output tersebut yaitu teknologi. Namun TFP ini tidaklah harus selalu beranggapan bahwa faktor selain Kapital dan Labor yang dominan dalam upaya meningkatkan output adalah teknologi[2], faktor lainnya seperti kebijakan moneter, fiskal, politik mungkin saja ikut berperan dalam pembentukan output tersebut.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penggunaan TFP dalam menghitung tingkat produktifitas secara umum memiliki kelemahan yaitu tidak otomatis dapat langsung menghitung peran labor dalam peningkatan output, terlebih lagi bila kita sadari bahwa penghitungan output disini seringkali bersifat absolut, bukannya marginal yaitu seberapa penambahan faktor produksi (K dan L) dapat meningkatkan output sebesar angka tertentu.

"Growth in total-factor productivty (TFP) represents output growth not accounted for by the growth in inputs." -- Hornstein and Krusell (1996).

Dengan memperhitungkan nilai margina, pengukuran Produktivitas dapat juga dihitung sebagai hasil dari Input (I) dibagi Output (O). Semakin besar output dan semakin kecil input maka produktivitasnya semakin besar. Produktivitas juga dapat digambarkan sebagai berikut :

* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) tetap
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) naik
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) tetap, Output (O) naik
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) naik, Output (O) naik tetapi jumlah kenaikan Output lebih besar daripada kenaikan Input.
* Produktivitas (P) naik apabila Input (I) turun, Output (O) turun tetapi jumlah
* penurunan Input lebih kecil daripada turunnya Output.


Tingkat Produktifitas Secara Mikro
---------------------------------------------------
Untuk pengukuran produktivitas di tingkat perusahaan biasanya digunakan pula penghitungan Produktivitas Total Faktor (TFP) perusahaan yang dihasilkan dari penghitungan Nilai Tambah, labor share dan capital share. TFP ini adalah hasil dari Produktivitas dari semua variabel yang mendukung berjalannya suatu usaha. Didapat 4 komponen pendukung peningkatan TFP yaitu : Quality of labour, Capital structure, Demand Intensity dan Technical Progres. Dari kajian tersebut tercermin bahwa Produktivitas total faktor dihasilkan dari labour dan juga capital.

Bahkan metode penghitungan produktifitas tenaga kerja seringkali dihitung hanya berdasarkan kacamata labor share yang seringkali melupakan peran kapital, teknologi dan faktor lainnya. Berikut adalah penghitungan produktifitas secara mikro yang juga mengandung banyak kelemahan

A. Labor Share adalah :
(upah buruh x jumlah buruh x jam kerja) / Total biaya
W x L x H / TC
Total biaya = biaya buruh + biaya non-buruh. Untuk penyederhanaan, H dianggap sama untuk semua buruh, sehingga diskusi selanjutnya akan mengarah ke L.

B. Produktivitas:
Harga produk x Jumlah Produk / Jumlah buruh
(P x Q)/L

Kelemahan yang mungkin terbaca dengan asumsi bahwa labor share haruslah meningkat bila output meningkat adalah:

1. Membandingkan produktivitas dengan labor share adalah bukan perbandingan yang baik. Dari dua formula di atas, kalau: teknologi, harga produk, jumlah produk, upah buruh, jam kerja dan total biaya diasumsikan tetap (constant), dari B peningkatan produktivitas berarti penurunan jumlah buruh, dan dari A dengan adanya penurunan jumlah buruh, labor share otomatis turun. Jadi kalau plot labor share turun, umumnya plot produktivitas akan naik.

2. Penurunan biaya buruh dan meningkatnya produktivitas dalam banyak kasus di industri di Indonesia khususnya banyak melupakan peran teknologi yang berubah cepat. Industri yang dulunya labor intensif, sekarang menjadi makin kapital intensif. Dari sisi produktifitas dalam rangka persaingan internasional, peningkatan ekspor dan perolehan devisa, inilah yang justru diharapkan.

3. Metode penghitungan ini mengabaikan satu hal lain yang lebih penting. Kecilnya labor share menyebabkan kurva permintaan buruh menjadi lebih inelastis. Artinya jumlah permintaan tenaga kerja tidak terlalu responsif terhadap perubahan upah. Dengan kata lain, kalau terjadi 'shock' yang membuat upah buruh meningkat, jumlah kesempatan kerja tidak banyak berkurang. Dengan kecilnya labor share, permintaan tenaga kerja menjadi tidak elastis, akibatnya pengangguran akan lebih mudah dihindari. Ini menguntungkan pihak tenaga kerja. Inilah prinsip terkenal "the importance of being unimportant." Serikat buruh di Amerika selalu mengusahakan agar jumlah buruh sedikit, labor share kecil (tidak berarti upah juga kecil), permintaan tenaga kerja inelastis, dan kalau ada 'apa-apa' pekerja yang di 'layoff' oleh perusahaan tidak akan terlalu massive.

4. Semestinya produktivitas -tidak- dihubungkan dengan 'labor cost' tetapi langsung dengan 'upah buruh'. Karena, kalau pengusaha meminimumkan biaya produksi, maka dia akan membayar upah buruh setara dengan nilai produk marginalnya. Nilai produk marginal ini bisa mencerminkan produktivitas tenaga kerja. Secara matematis bisa ditunjukkan bahwa kondisi optimal (dalam suasana kompetitif) agar biaya minimum adalah:

Upah = harga barang output x produk marginal tenaga kerja.
W = P. MPL

Artinya bila produktivitas tenaga kerja naik, P constant, upah buruh W juga mestinya meningkat.

Korelasi antara Upah tenaga kerja dan Produktifitas Tenaga Kerja

Selalu muncul pertanyaan di benak para stakeholders yang berkepentingan dalam masalah pengupahan, bila produktivitas tenaga kerja naik, mengapa upah buruh tidak juga naik ? Bukti-bukti empiris menunjukkan hasil yang ambigius, dengan kata lain terlihat bahwa secara makro kenaikan upah tenaga kerja tidak berpengaruh secara kualitatif terhadap kinerja produktifitas secara umum. Gambar dan tabel berikut dapat dijadikan sebagai ilustrasi yang menarik untuk disimak.

Gambar 1. Perbandingan TFP Sektor Industri Pengolahan Beberapa Negara Asia (1980-2001)

Sumber: World Economic Forums, 2003

Dengan mempertimbangkan bahwa terdapat kecenderungan yang tidak terlalu drastis dikaitkan dengan kinerja perekonomian Indonesia yang relatif lebih lambat untuk pulih kembali setelah krisis moneter maka trend dari TFP sektor manufaktur Indonesia juga tidak akan terlalu meningkat tajam. Sementara upah yang didasarkan pada ketentuan upah minimum provinsi beberapa propinsi menunjukkan trend yang sebaliknya, yaitu peningkatan upah yang laju rata-rata-nya jauh diatas tingkat inflasi bahkan tingkat pertumbuhan ekonomi nasional sekalipun.

Tabel 2. Laju Pertumbuhan Peningkatan UMP (1994-2004)

Sumber: Dewan Produktifitas Nasional, 2005

Sementara itu satu penelitian terakhir berbentuk tesis dari Sumarlin, Universitas Sumatera Utara, 2006 menunjukkan bahwa memang terdapat hubungan yang positif antara pertumbuhan upah dengan tingkat produktifitas sektor non migas di Indonesia selama periode tahun 1980 s.d. 2004. Dihasilkan kesimpulan bahwa memang upah yang tinggi mempengaruhi tingkat produktifitas dengan arah yang positif. Kenaikan satu persen pada upah akan meningkatkan produktifitas sebesar Rp. 8.8 juta per tenaga kerja.

Namun hasil ambigiu ini memang disadari lebih banyak diakibatkan oleh metode yang digunakan dalam menghitung tingkat produktifitas itu sendiri. Ditenggarai bahwa penghitungan tingkat produktifitas yang dilakukan dalam banyak studi yang megkaji hubungan tingkat upah dan tingkat produktifitas ini tidak memisahkan antara tingkat produktifitas total input (kapital dan labor) dengan tingkat produktifitas tenaga kerja secara “stand alone”.

Dengan asumsi pasar tenaga kerja yang relatif kompetitif, upah buruh seharusnya tidak hanya ditentukan oleh pengusaha (baca: teknologi yang dipakai pengusaha), tetapi ditentukan pula secara lebih dominan oleh mekanisme pasar tenaga kerja yang berlaku. Pengusaha untuk kegiatannya jelas membutuhkan tenaga kerja. Permintaan tenaga kerja ini diwakili oleh kurva permintaan, yang menunjukkan hubungan:

W= harga produk (P) x Marginal Produk Labor (MPL)

Hubungan W dan L melalui MPL adalah negatif. Kalau tenaga kerja sedikit, produktivitas per unit tenaga kerja makin besar, upah juga tinggi.

Kelompok tenaga kerja menawarkan tenaga kerja diwakili oleh kurva penawaran. Hubungan antara W dan L adalah positif: semakin tinggi upah, semakin banyak tenaga kerja yang disediakan. Misalkan saja pada kondisi awal, supply tenaga kerja adalah S1. mekanisme pasar tenaga kerja akan menghasilkan upah W1 dan tenaga kerja L1. Bila terjadi peningakatan supply tenaga sedangkan kurva permintaan relatif tidak berubah (banyaknya tenaga kerja yang keluar dari sektor pertanian, atau makin banyaknya anak lulusan SD/SMP/SMA yang mencari kerja, atau berbagai sebab lain). Kurva penawaran akan bergeser, hal ini menekan akan upah buruh menjadi W2 <> L1), tetapi upah juga lebih kecil.

Kalau pemerintah memasang upah minimum di atas W2, dalam jangka pendek pengangguran akan membesar. Permintaan tenaga kerja lebih kecil dari penawaran. Konsekwensinya, pemerintah harus bertanggung jawab untuk menyalurkan pengangguran yang akan terjadi.

Upah buruh yang rendah memang memprihatinkan. Tetapi diskusi tentang upah buruh yang rendah tidak bisa terlepas dari diskusi tentang banyaknya pengangguran di Indonesia. Melimpahnya penawaran tenaga kerja dengan keterampilan minim merupakan salah satu penyebab utama upah yang rendah. Selain itu, tingkat inflasi yang cukup tinggi sebelum kebijakan Inflation targeting juga merupakan faktor penyebab daya beli yang semakin rendah karena upah yang tinggi bila dihitung secara riil sebenarnya adalah rendah. Oleh sebab itu bila pemerintah (via Depnaker, Disnaker atau lembaga lainnya) ingin lebih memperhatikan upah buruh, pemerintah harus juga menyelesaikan secara simultan dalam mengatasi masalah pengangguran, penciptaan lapangan kerja baru, peningkatan keterampilan, dst. Pertanyaannya bukan saja 'mengapa pengusaha membayar upah terlalu kecil', tetapi juga 'mengapa dengan upah yang kecil itu banyak orang masih mau bekerja.'

“Himbauan' agar pengusaha meningkatkan upah buruh memang enak didengar. Bila pemerintah 'menghimbau' pada para pengusaha untuk meningkatkan upah, dalam terminologi ekonomi 'himbauan' ini perlu diterjemahkan sebagai: - “Pemerintah lewat kordinasi dan sinergitas antar lembaga perlu menyediakan berbagai insentif, baik melalui pajak atau yang lain agar pengusaha bisa meningkatkan permintaan tenaga kerja lewat penambahan modal kerja ataupun investasi baru. Contoh: insentif untuk membuka industri yang padat karya dibanding padat modal, dll. Yang dibutuhkan adalah suatu 'economic policy' yang diawali dengan niatan dalam arti perencanaan dan implementasi lapangan melalui mekanisme kebijakan antar kelembagaan. Bukannya himbauan dan kebijakan UMP/UMR.

Kesimpulan
-----------------
Didalam peningkatan produktivitas sendiri terdapat faktor-faktor yang sangat berpengaruh pada peningkatannya baik itu di tingkat makro, mikro maupun bagi tiap individu. Di tingkat makro, stabilitas politik dan keamanan, kondisi Sumber daya (SDM, alam dan Energi), pelaksanaan pemerintah, kondisi infrastruktur berupa transportasi dan komunikasi dan yang tidak kalah penting adalah perubahan struktural dalam bidang sosial dan budaya. Di tingkat mikro, faktor internal meliputi sumber daya manusia, teknologi, manajemen, demand intensity dan struktur modal. Selain faktor faktor internal terdapat juga faktor eksternal yang dapat mempengaruhi meliputi produktivitas di tingkat mikro diantaranya kebijaksaan pemerintah, kondisi politik, sosial, ekonomi dan hankam serta tersedianya sumber daya alam. Di tingkat individu faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas adalah sikap mental (budaya produktif), pendidikan, ketrampilan, kompetensi dan apresiasi terhadap kinerja.

Apa keuntungan dari peningkatan produktivitas? Keuntungan peningkatan produktivitas di tingkat nasional (Makro) dengan peningkatan produktivitas maka kemampuan bersaing meningkat khususnya dalam perdagangan internasional yang menambah pendapatan negara, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sehingga dapat meningkatkan standar hidup dan martabat bangsa, memperkokoh eksistensi dan potensi bangsa yang berarti memantapkan ketahanan nasional, sebagai alat untuk membantu merumuskan kebijaksanaan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan dan tumbuhnya dunia usaha yang membawa pengaruh bertambahnya lapangan kerja.

Di tingkat perusahaan (mikro) maka dengan peningkatan produktivitas akan memperkuat daya saing perusahaan karena dapat memproduksi dengan biaya yang lebih rendah dan mutu produksi lebih baik, menunjang kelestarian dan perkembangan perusahaan, menunjang terwujudnya hubungan industrial yang lebih baik dan mendorong terciptanya perluasan lapangan kerja. Di tingkat individu akan meningkatkan pendapatan, meningkatkan harkat dan martabat serta pengakuan potensi individu serta meningkatkan motivasi kerja dan keinginan berprestasi.

Saran-Saran
------------------
Untuk menghitung real labour productivity – break down dari TFP kita bisa Mulai dengan menentukan determinan dari TFP yaitu: Quality of Labour, Capital structure, Demand Intensity dan technical progress. Dari Determinan tersebut dapat kita ketahui berapa real labour productivity yaitu dari quality of labour (Kompetensi tenaga kerja) dan technical progress yang dihasilkan dari tenaga kerja (labour share dikalikan dengan technical progress). Penghitungan tersebut lebih tepat digunakan pada manufactur sector. Sedangkan untuk service sector, labour productivity dapat dihitung dengan menggunakan labour share.

Dari labour cost ini baru kemudian diturunkan kembali berapa besar untuk fix wage, variable wage, training dan lain-lain sesuai dengan struktur dan skala upahnya dan keadaan pada perusahaan tersebut. Setiap orang tenaga kerja bisa jadi tidak sama dalam menerima perubahan upah karena juga dilihat dari kinerja masing-masing dari setiap orang (absensi, kedisiplinan, kepatuhan, kompetensi dan lain-lain). Dan setiap perusahaan akan berbeda beda pula struktur dan skema upahnya karena disesuaikan dengan struktur organisasi, budaya perusahaan, keadaan perusahaan yang masingmasing mempunyai karakteristik tersendiri.

Dengan konsep tersebut maka wage adjustment benar-benar didasarkan pada produktivitas. Bila memang Pendapatan perusahaan besar dan real labour productivity besar maka wage adjustment dapat dihasilkan secara signifikan. Diharapkan dengan konsep ini wage adjustment dapat adil bagi pekerja dan pemberi kerja, sutainability perusahaan terjaga, mendorong pekerja untuk lebih produktif dan pemberi kerja dapat mengembangkan usahanya yang berarti terserapnya tenaga kerja dan memperbesar pendapatan daerah.

Untuk upah minimum ada baiknya kenaikannya tidak hanya didasarkan pada kenaikan inflasi terkait komponen hidup minimum, namun juga berdasarkan data produktivitas tenag kerja nasional. Hal ini dimaksudkan agar kenaikan upah minimum juga berbanding lurus dengan kenaikan produktivitas tenaga kerja.

Sekian dan Terima Kasih......

Dikutip dari Penulis :
Ketua Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, FE Unpad, Sekretaris dan Peneliti Lembaga Penelitian, Pengabdian pada Masyarakat dan Pengkajian Ekonomi (LP3E) FE Unpad. Dipresentasikan pada Diskusi Ekonomi dan Bisnis, Kadin Kota bandung, February 2008.

Tidak ada komentar: